Posted by : KNPB Konsulat
Thursday, August 21, 2014
Foto 15 Agustus 2014 |
•
Mengapa rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
•
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
•
Kapan mereka mau berhenti berjuang?
Ada
empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki negara
sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:
1. Hak
2. Budaya
3. Latarbelakang sejarah
4. Realitas sekarang
ad 1. Hak
Kemerdekaan
adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on
Human Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam
mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan.
»All
peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they
freely determine their political status and freely pursue their economic,
social and cultural development –
Semua
bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas
menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan
budaya mereka
«
(International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is
used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from
the concept State –
Bangsa
digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep
Negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa
bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include several nations,
meaning Nationalities or Peoples).
Ada
dua jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu;
1. external right to self-determination dan 2. internal right to
self-determination.
External
right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan
negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib
sendiri untuk memiliki negara Papua Barat di luar negara Indonesia.
External
right to self-determination, or rather self-determination of nationalities, is
the right of every nation to build its own state or decide whether or not it
will join another state, partly or wholly (Roethof 1951:46) –
Hak
external penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri
dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara
sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain,
sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1).
Jadi,
rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara
tetangga Papua New Guinea.
Perkembangan
di Irlandia Utara dan Irlandia menunjukkan gejala yang sama. Internal right to
self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau
bangsa untuk memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang
telah ada.
Suatu
kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di
dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang
dimilikinya.
Di
Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh.
Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi
ataupun kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah
menikmati otonomi yang adalah haknya.
ad 2. Budaya
Rakyat
Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras
Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat
memiliki budaya Melanesia.
Bangsa
Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea),
Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan
Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan
ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis,
Menado, dan lain-lain.
Menggunakan
istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya menganjurkan
rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme superior ala
Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II). Adolf Hitler menganggap
bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi
derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal ras lain.
Rakyat
Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof
sebagaimana terdapat pada ad 1 di atas.
ad 3. Latarbelakang Sejarah
Kecuali
Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda, kedua
bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik
sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebagai berikut:
Pertama;
Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat
sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal
leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis
sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun.
Hingga
kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di
mana, sebagai contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di
daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di
Numbai. Dari dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak
terdapat garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia
ketika itu.
Kedua;
Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam
menentang penjajahan Belanda dan Jepang.
Misalnya,
gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif
menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan
gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan
Stefanus Simopiaref dan Angganita Manufandu, lahir berdasarkan kesadaran
pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.
Ketiga;
Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan
Belanda di Papua Barat.
Indonesia
dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara
politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Keempat;
Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«.
Mohammed
Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang
dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok
Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).
Kelima;
Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag
(Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa
Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Status
Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran
II pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Keenam;
Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda.
Papua Barat telah memiliki bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua«
sebagai lagu kebangsaan dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan
ini ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea).
NGR
didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat
bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta
bendera telah diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh;
Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian
PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari
tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional
(international dispute region).
Kedua
aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional
dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia
bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Kedelapan;
Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya
diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak
setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan
hasil rekayasa pemerintah Indonesia.
Adanya
masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai
sejarah Papua Barat di dunia politik internasional.
Ketidaksetujuan
beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan
motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah.
Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat
lebih lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Kesembilan;
Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah
menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI.
Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino
1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin
dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery
Society).
Johan
Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan
secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia
(Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Angganita
Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati
Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische
Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari
PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.)
dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.),
Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.),
Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara
masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda
memprotes adanya penjajahan asing di Papua Barat.
ad 4. Realitas Sekarang
Rakyat
Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya
kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari
waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas tersendiri yang
berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada
identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman
praktek-praktek kolonialisme Indonesia.
Perlawanan
menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2)
adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan
pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah
Papua Barat.
Rakyat
Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan
basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire
(profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis.
Semangat
juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada
tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua New Guinea dan
empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref, Loth Sarakan (alm.)
dan John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk
meminta suaka politik. Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan
yang pertama di dalam sejarah Papua Barat.
Gerakan
yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional, Mambesak (bahasa Biak untuk
Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.) merupakan manifestasi politik
anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak tahun 1969.
Kebanyakan
anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea sedangkan
sebagian kecil masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr.
Thomas Wanggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14 Desember 1988
dengan memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat).
Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi aksi damai di Numbai (nama
pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14 Desember.
Dr.
Thom Wanggai dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun. Namun, beliau kemudian
meninggal secara misterius di penjara Cipinang.
Papua
Barat dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996. Tembagapura
bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret). Numbai terbakar
tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wanggai. Nabire dijungkir-balik
selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar terjadi awal Juli
1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di Manokwari.
Salah
satu pemimpin dari gerakan, Juli 1998, adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P. Karma
bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara Samofa, Biak sambil
menjalani proses pengadilan.
Gerakan
Juli 1998 merupakan yang terbesar karena mencakup daerah luas yang serentak
bergerak dan memiliki jumlah massa yang besar. Gerakan Juli 1998 terorganisir
dengan baik dibanding gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli
1998 dapat menarik perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa
kedutaan asing di Jakarta menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan
kebrutalan mereka di Papua Barat.
Berkat
Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang populer di Indonesia dewasa
ini. Di samping sukses yang telah dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa
menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang
dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar di
Biak.
Menurut
laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum mereka ditembak mati.
Realitas
penuh dengan represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun
perjuangan tetap akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali
realitas mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu.
Mereka
hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun
kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa »We shall
overcome someday!« (Kita akan menang suatu ketika!).
Masa
depan: Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di
dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of Free
Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib
sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini
pemerintah Indonesia dan Belanda. (Untuk Roma Agreement, silahkan melihat
lampiran pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Rakyat
Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara demokratis di dalam
Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh pemerintah Indonesia menjadi
Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act of Free Choice
(Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz
Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera melaporkan bahwa rakyat
Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih.
Ketidakseriusan
PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan pelecehan hak penentuan nasib
sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri.
Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua Barat akan tetap berjuang menuntut
pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka
di masa lalu.
Sejak
pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa
yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya
di hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah
menyadari bahwa jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua
Barat akan memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun
semakin menyadari hal ini.
Menurut
catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah
meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian
politik pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia telah membuat
sejarah hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman, Amerikat Serikat,
Yugoslavia dan Rwanda.
Jepang
kemudian memohon maaf atas kebrutalannya menduduki beberapa daerah di
Asia-Pasifik pada tahun 1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai
negara Eropa Barat. Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi
kaku jika mengunjungi negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel.
Berbagai
media di dunia pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian maaf untuk pertama
kali oleh Amerika Serikat (AS) melalui menteri luarnegerinya, Madeleine
Albright.
"Amerika
Serikat menyesalkan »kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang dilakukannya di
Amerika Latin selama perang dingin", kata Albright.
AS
ketika itu mendukung para diktator bersama kekuatan kanan yang berkuasa di
Amerika Latin di mana terjadi pembantaian terhadap berjuta-juta orang kiri.
Semoga Indonesia akan bersedia untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya
dengan memohon maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian hari. Satu per satu
para penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal Yugoslavia
di kota Den Haag, Belanda.
Agusto
Pinochet, bekas diktator di Chili, sedang diperiksa di Inggris untuk
diekstradisikan ke Spanyol. Dia akan diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang
selama dia berkuasa di Chili. Suatu usaha sedang dilakukan untuk
mendokumentasikan identitas dan kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat.
Dokumentasi tersebut akan digunakan di kemudian hari untuk menyeret para
pemimpin ABRI ke tribunal di Den Haag.
Akhir
tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap beberapa daerah bersengketa
(dispute regions), yaitu Irlandia Utara, Palestina dan Polisario (Sahara
Barat).
Kedua
pemimpin di Irlandia Utara yang masih dijajah Inggris menerima Hadiah
Perdamaian Nobel (Desember 1998). Bill Clinton, presiden Amerikat, yang
mengunjungi Palestina, tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser
Arafat bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh
Israel.
Sekretaris
Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di Afrika Utara mampir di
Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara Front Polisario dan Maroko.
Front Polisario dengan dukungan Aljasaria masih berperang melawan Maroko yang
menduduki Polisario (International Herald Tribune, Nov. 30, 1998).
Mengapa
ada konflik di Irlandia Utara, Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di
sana menuntut hak mereka dan memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang
berbeda dari penjajah yang menduduki negeri mereka. Realitas sekarang
menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang untuk membebaskan
diri dari penjajahan.
Realitas
sekarang di Papua Barat membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang
penjajahan Indonesia. Ini merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor
budaya, latar-belakang sejarah yang berbeda dari Indonesia dan terlebih hak
sebagai dasar hukum di mana rakyat Papua Barat berhak untuk merdeka di luar
Indonesia.
Sejarah
Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang
meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau
dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan
latarbelakang sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari
kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya
untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan Indonesia.
Rakyat
Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi bagian yang setara
dengan masyarakat internasional. Perjuangan akan dilanjutkan hingga perdamaian
di Papua Barat tercapai.
Anak-anak,
yang orang-tuanya dan kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak
akan hidup damai selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan. Mereka akan
meneruskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan meneriakkan pekikan
Martin Luther King, pejuang penghapusan perbedaan warna kulit di Amerka Serikat,
"Lemparkan kami ke penjara, kami akan tetap menghasihi.
Lemparkan
bom ke rumah kami, dan ancamlah anak-anak kami, kami tetap mengasihi".
Rakyat Papua Barat memunyai sebuah mimpi yang sama dengan mimpinya Martin
Luther King, bahwa »kita akan menang suatu ketika«.
________________________________________
Tulisan
di atas dipetik dari diktat berjudul; “Karkara karangan Ottis Simopiaref”.
Ottis
Simopiaref lahir tahun 1953 di Biak, Papua Barat dan sedang berdomisi di
Belanda sejak 14 Maret 1984 setelah bersama tiga temannya lari dan meminta
suaka politik di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta tanggal 28 Februari 1984.